Merek merupakan investasi jangka panjang perusahaan yang apabila dikelola dengan maksimal akan memberikan keuntungan besar bagi perusahaan yang mengelolanya.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa merek-merek global yang sudah bertahan puluhan tahun beberapa diantaranya kini berhasil menjadi merek-merek termahal karena dikelola oleh perencanaan manajemen merek yang sukses. Ada kalanya perusahaan berpikir bahwa berinvestasi pada aset seperti gedung, tanah dan mesin adalah investasi riil yang memberikan suatu manfaat bagi perusahaan dibandingkan berinvestasi pada merek. Dalam jangka waktu yang lebih lama sebenarnya dapat dilihat bahwa berinvestasi pada merek memberikan hasil yang lebih menguntungkan.
Ada kalanya perusahaan akan dijual oleh pemiliknya beserta merek yang menjadi portofolio perusahaan kepada investor untuk mendapatkan keuntungan. Walau berganti pemilik setelah bisnis / perusahaan tersebut dibeli, perusahaan dapat melanjutkan langkah perjalanan merek yang panjang dan terencana, sehingga dapat menghasilkan ekuitas merek yang tinggi dan juga memberi keuntungan lebih besar bagi perusahaan, terlebih lagi bagi investor yang memilikinya.
Studi pemasaran, studi merek, mengakuisisi perusahaan, membangun merek, perjalanan merek, manajemen merek, investasi pada merek
Terjadi perubahan yang sangat besar dalam dunia pemasaran khususnya setelah munculnya konsep merek sebagai aset kunci perusahaan. Pertimbangan ini terlihat dengan meningkatnya peranan brand dalam riset pemasaran (Malhotra, Peterson & Kleiser, 1999) dan manajemen praktis (Aaker 1996; Murphy 1998), dimana hasil dari pertemuan dua konsep teoritis tersebut mengarah pada bidang manajemen strategik dan pemasaran.
Lebih lanjut didapatkan bahwa terjadi redefinisi ulang persepsi secara akademis maupun manajerial tentang peran dan pentingnya brand dalam pembentukan strategi (Kapferer 1992; Mintzberg, Quinn & Ghoshal, 1998). Niall Fitzgerald, co-chairman dari UNILEVER, sebuah perusahaan grup kolaborasi Inggris dan Belanda menyadari perubahan ini saat mengatakan “ We’re not a manufacturing company any more, we’re a brand marketing group that happens to make some of its products “ (Willman, 2000). Stephen King dari WPP Group London juga mengatakan “A product is something that is made in factory; a brand is something that is bought by a customer. A product can be copied by a competitor; a brand is unique. A product can be quickly outdated; a successful brand is timeless”.
Pada pembahasan artikel “mini Cases on Brand Reality, oleh Christ, berupaya untuk mengumpulkan kasus-kasus berdasarkan uraian para praktisi salah satunya tentang bagaimana profil realitas merek disusun dan diukur keberhasilannya. Pada tulisan ini singkat diarahkan pada studi kasus tiga perusahaan antara lain Coca Cola, Starbucks dan HM Sampoerna yang perusahaannya telah dibeli oleh investor dan merek-merek yang dimilikinya ‘dibangun kembali’ / dilanjutkan oleh pemilik yang baru.
Tiga cuplikan kasus tersebut adalah gambaran dari tiga perusahaan yang merupakan pemilik merek-merek yang cukup terkenal yang sudah bertahan lebih dari 15 tahun di dunia. Coca Cola dan Starbucks merupakan perusahaan global sedangkan HM Sampoerna adalah perusahaan multinasional. Merek-merek yang dimiliki oleh ketiga perusahaan tersebut dinilai cukup kuat, Coca Cola dan Starbucks tentu tidak diragukan sedangkan merek-merek yang dimiliki HM Sampoerna saat ini walau masih memiliki kekuatan di Indonesia dan beberapa negara lain namun kini sudah dimiliki oleh Philip Morris yang merupakan pemilik merek terkenal Marlboro. Seharusnya kesuksesan merek-merek rokok milik HM Sampoerna dapat menjadi lebih mudah untuk pasar regional maupun global dengan manajemen dari pemilik yang baru.
Secara umum merek yang kuat adalah (1) berharga, yaitu dalam pengembangan mereka dapat membantu perusahaan untuk membuka peluang / kesempatan (melalui brand extension) dan menetralisir ancaman lingkungan persaingan; (2) jarang dimiliki oleh kompetitor saat ini maupun kompetitor potensial; (3) mahal untuk ditiru dan (4) tidak ada pengganti / substitutor strategis. Coca Cola & Starbucks menggunakan corporate brand Coca Cola atau biasa dikenal sebagai Coke, Starbucks menggunakan nama yang sama untuk semua kafe-kafenya di seluruh dunia sedangkan HM Sampoerna dengan beberapa mereknya yang terkenal Dji Sam Soe & A-Mild (X-Mild, Sampoerna Exclusive & Sampoerna Hijau tidak dimasukkan dalam kategori merek kuat karena masih merupakan merek yang masih berusaha dibangun oleh perusahaan).
Banyak orang percaya bahwa isu fundamental dalam pemasaran adalah meyakinkan calon konsumen bahwa perusahaan memiliki produk atau jasa yang lebih baik. Kata-kata yang sering muncul adalah ’Kita mungkin bukan yang pertama tetapi kita akan menjadi yang lebih baik’. Hal ini mungkin benar, tetapi jika perusahaan terlambat masuk ke dalam pasar dan harus bersaing dengan pesaing-pesaing besar yang lebih mapan, maka strategi pemasaran perusahaan mungkin tidak tepat. Strategi ’meniru’ tidak akan efektif (Jack Trout, 2002). Bagaimanapun, The Law of Leadership dari 22 immutable laws of marketing mengatakan ’It is better to be the first in the market than to be the better’ (Ries & Trout, 1994). Di Indonesia, data menunjukkan beberapa pionir sukses yang hingga saat ini masih mendominasi pasar, misalnya Aqua (industri air mineral dalam kemasan), Sanyo (pompa air), Teh Botol Sosro (teh botol), Baygon (pembasmi nyamuk), Honda (sepeda motor), Coke (minuman cola), Gillette (pisau cukur) dan Sony (produk elektronik).
Namun, pada saaat bersamaan, terdapat pula beberapa pionir yang gagal bertahan sebagai pemimpin pasar. Contohnya antara lain Odol (pasta gigi), WordStar (program pengolah data), VisiCalc (spreadsheet), SuperMi (mi instan), dan Atari (video games). Dalam industri-industri seperti ini justu later entrants yang mendominasi pasar seperti – Pepsodent (pasta gigi), Microsoft Word (program pengolah data), Microsoft Excel (spreadsheet), Indomie (mi instant) dan Sony Play Station (video games). Jika ditelusuri lebih lanjut, kegagalan para pionir tersebut bersumber pada beberapa faktor, diantaranya : produk baru yang diluncurkan masih bersifat tergolong ’generasi pertama’ yang jauh dari sempurna, positioning yang dipilih keliru, terlalu terburu-buru dan belum ada permintaan pasar yang signifikan, biaya pengembangan produk yang sedemikian besar sehingga menyedot sebagian besar sumber daya inovator, kekurangan sumber daya untuk berkompetisi dengan perusahaan-perusahaan later entrants yang kapasitas dan kapabilitasnya lebih besar, kelemahan manajerial, perselisihan internal dan rasa puas diri yang belebihan. Jika rahasia kesuksesan adalah menjadi yang pertama masuk ke dalam ingatan calon konsumen, strategi mana yang digunakan oleh sebagian besar perusahaan ? Yang digunakan adalah strategi untuk menghasilkan produk yang lebih baik (better product).
Bagaimana untuk memulai strategi menghasilkan produk yang lebih baik adalah melalui benchmarking. Benchmarking merupakan topik yang populer dalam bidang manajemen bisnis. Dipuji sebagai ’strategi persaingan fundamental’, benchmarking mengevaluasi dan membandingkan produk-produk perusahaan dengan produk-produk terbaik dalam industri. Namun benchmarking tidak efektif karena terlepas dari kualitas objektif ke produk, konsumen menganggap merek pertama yang masuk ke dalam ingatan mereka sebagai merek superior. Jika perusaahaan adalah peniru, maka perusahaan menjadi warga negara kelas dua. Pemasaran adalah pertarungan persepsi, bukan produk (Jack Trout, 2002).
Sumber : My Document